image

image

Tuesday, May 14, 2013

PESANAN dan PERINGATAN


Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda;


فعليكم بسنَّتي وسنَّة الخلفاء الراشدين المهديِّين، عضُّوا عليها بالنَّواجذ

“Maka wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah al-Khulafa ar-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah dengan gigi geraham..” [HR. Abu Dawud no. 4607, Ahmad 4/126-127, dan at-Tirmidzi no. 2676]

al-Imam al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbaly –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 795 H) berkata dalam syarh-nya;

والسنَّة هي الطريقة المسلوكة، فيشمل ذلك التمسُّك بما كان عليه هو وخلفاؤه الراشدون منالاعتقادات والأعمال والأقوال، وهذه هي السنَّة الكاملة، ولهذا كان السلف قديماً لا يطلقون اسم السنَّة إلاَّ على ما يشمل ذلك كلَّه

“Sunnah adalah jalan yang dilalui. Sehingga sunnah mencakup apa-apa yang beliau –Shallallaahu ‘alahi wa sallama- jalani dan apa-apa yang dijalani oleh para Khulafa ar-Rasyidin berupa akidah, perbuatan dan ucapan. Inilah sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi salaf dahulu tidak menamakan sunnah kecuali apa saja yang mencakup semuanya (i.e ketiga aspek tersebut).” [Jaami’ul ‘Ulum wa al-Hikam, 2/120. Mu’assasah ar-Risalah, Beirut]

Guru besar ilmu Hadits (Emeritus) Universitas Islam Madinah al-Munawwaroh dan pengajar tetap di Masjid Nabawi KSA, asy-Syaikh al-‘Allamah Abdul Muhsin bin Hamd al-‘Abbad al-Badr –hafizhahullaahu Ta’ala- menjelaskan;

وقد حثَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم على التمسُّك بسنَّته وسنَّة خلفائه الراشدين بقوله: "فعليكم"، وهي اسم فعل أمر، ثم أرشد إلى شدَّة التمسُّك بها بقوله: "عضُّوا عليها بالنَّواجذ"، والنواجذ هي الأضراس، وذلك مبالغة في شدَّة التمسُّك بها.

“Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama telah memotivasi untuk berpegang teguh kepada sunnahnya dan sunnah para Khulafa ar-Rasyidin dengan sabda beliau: ‘Fa’alaykum’ yang berbentuk fi’il ‘amr (kata perintah). Kemudian beliau menuntun untuk berpegang teguh dengan keras dalam sabda beliau, ‘Gigitlah dengan gigi geraham.’ An-Nawaajidz adalah geraham. Ini adalah ungkapan untuk berpegang teguh dengan keras.” [Fathul Qawiy al-Matiin, hal. 98. Daar Ibnu al-Qayyim, Damaam]

Dan beliau radhiyallaahu ‘anhu (yang berpidato pasca ia terpilih sebagai pemimpin umat menggantikan pemimpin sebelumnya yang wafat) ini adalah salah satu di antara para al-Khulafa ar-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas, yang dibersihkan hatinya dari sifat munafik (hati, ucapan dan perbuatannya sama, red), ditazkiyah oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, dan dijamin Surga oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Dan beliau –sebagaimana para shahabat radhiyallaahu ‘anhum ajma’in yang lain- adalah manusia pilihan yang tidak akan ada manusia sepertinya di zaman-zaman setelahnya. al-Hafizh Syaikhul Islam Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah al-Harrani –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 728 H) menjelaskan;


لا كان ولا يكون مثلهم وأنهم هم الصفوة من قرون هذه الأمة التي هي خير الأمم وأكرمها على الله تعالى

“Tiada dan tidak akan ada orang seperti mereka. Dan bahwasanya mereka adalah manusia pilihan daripada/ dibandingkan manusia-manusia dalam abad-abad umat ini yang merupakan umat terbaik dan termulia menurut Allah Ta’ala.” [Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, 2/293. Daar Ibnu al-Jawzee, Riyadh]

Pidato amirul mukminin yang mulia ini kami nukil dari kitab al-Bidayah wan Nihaayah karya al-Hafizh ‘Imaddudin Abul Fida’ Isma’il bin Katsir ad-Dimasyqi –raheemahullaahu Ta’ala-. Sebelum masuk lebih dalam kepada inti artikel, ada baiknya jika kita mendengar pemaparan asy-Syaikh DR. ‘Utsman bin Muhammad al-Khamis –hafizhahullaahu- mengenai “Buku sejarah Islam (terpercaya) apa saja yang sebaiknya kita baca atau kita jadikan referensi/ rujukan, khususnya bagi para pemula seperti kita”, beliau –hafizhahullaahu- berkata;

“Jika anda mampu menganalisis sanad (mata rantai perawi) dan menelitinya, maka bacalah kitab al-Imam ath-Thabari (Tarikh ath-Thabari). Kitab beliau ini adalah pegangan bagi para ulama yang menulis kitab sejarah. Adapun jika anda tidak mampu menganalisis dan meneliti sanad, maka bacalah; 1). Kitab al-Hafizh Ibnu Katsir, al-Bidayah wan Nihaayah; 2). Kitab al-Hafizh adz-Dzahabi, Taarikhul Islam; 3). Kitab al-‘Allamah al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi, al-‘Awashim minal Qawashim, yakni kitab terbaik di antara kitab-kitab lainnya yang membahas periode sejarah pasca wafatnya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama hingga terbunuhnya al-Hushain radhiyallaahu ‘anhu.” [Hiqbah Min at-Tariikh, hal. 25. Maktabah al-Imam al-Bukhariy]

Ok lanjut; al-Imam al-Hafizh ‘Imaduddin Ibnu Katsir ad-Dimasyqi as-Syafi’i –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 774 H) mengatakan mengenai shahabat yang mulia ini dalam kitabnya;

“Dia adalah ‘Ustman bin ‘Affan bin Abu al-Ash bin Umayyah bin ‘Abdu Syams bin ‘Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizhar bin Ma’ad bin Adnan, Abu ‘Amr dan Abu ‘Abdillah, al-Qurasyi, al-Umawi, salah seorang Amirul Mukminin yang berjuluk Dzun Nurain (orang yang memiliki dua cahaya karena menikahi dua putri Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama), Shahibul Hijratain (pernah ikut hijrah ke Habasyah dan Hijrah ke Madinah), mengalami shalat di dua arah kiblat (pertama ke Masjidil Aqsha, kedua ke Masjidil Haram), dan suami dari dua putri Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama.

‘Utsman bin ‘Affan –radhiyallaahu ‘anhu- adalah salah seorang shahabat yang dijanjikan masuk surga oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, salah satu dari enam anggota tim syura (yang terlibat dalam pemilihan khalifah pasca wafatnya amirul mukminin Umar bin Khaththab radhiyallaahu ‘anhu), satu dari tiga orang yang menjabat sebagai khalifah dari enam kandidat yang ada, selanjutnya secara aklamasi kaum Muhajirin dan Anshar radhiyallaahu ‘anhum memilih beliau.

‘Utsman bin ‘Affan –radhiyallaahu ‘anhu- adalah khalifah ketiga dan pemimpin yang mendapat petunjuk, dimana seluruh umat diperintahkan untuk mengikuti dan meneladani beliau.” [al-Bidayah wan-Nihaayah, 10/347. Daar Hijr Li ath-Thaba’ah wa an-Nashr at-Tawzi’, Tahqiq: asy-Syaikh DR. Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turkiy]

Sebelum meninggal, Umar bin Khaththab radhiyallaahu ‘anhu telah memutuskan bahwa persoalan suksesi kepemimpinan sesudahnya diselesaikan melalui jalur musyawarah di antara enam orang, mereka adalah ‘Ustman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin ‘Ubaidillah, az-Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallaahu Ta’ala ‘anhum. Dia berusaha menghindari untuk menyerahkan pemerintahan kepada satu orang dari mereka dengan menunjuk nama secara langsung, dia berkata (Tarikh ath-Thabari, 4/228), “Aku tidak bisa menanggung persoalan kalian baik hidup maupun mati, namun jika Allah menghendaki baik pada kalian, pasti Dia akan mempersatukan kalian dengan memilih yang terbaik di antara mereka, seperti Allah mempersatukan kalian dengan memilih yang terbaik di antara kalian sepeninggal Nabi kalian Shallallaahu ‘alaihi wa sallama.” [Silahkan lihat al-Bidayah wan-Nihaayah, 10/208. Daar Hijr Li ath-Thaba’ah wa an-Nashr at-Tawzi’, Tahqiq: asy-Syaikh DR. Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turkiy]

Dan akhirnya Allah Subhaanahu wa Ta’ala menghendaki shahabat yang mulia, ‘Utsman bin ‘Affan –radhiyallaahu ‘anhu-, Dzun Nurain sebagai khalifah yang terbimbing, meneruskan estafet kepemimpinan amirul mukminin sebelumnya, Umar bin Khaththab radhiyallaahu ‘anhu. Setelah beliau terpilih secara aklamasi dan dibaiat oleh seluruh shahabat yang mulia dari kalangan Muhajirin dan Anshar, beliau berpidato yang isinya sangat menggetarkan jiwa. Tidak ada ajakan untuk ta’ashub kepada hizbiyyah. Yang ada hanyalah ajakan untuk mengisi sisa hidup dengan amal shalih, bersungguh-sungguh dalam kebaikan dan tidak lalai terhadap tipu daya dunia yang menggiurkan mata dan hati, serta mendahulukan kehidupan akhirat atas dunia yang fana. Saif bin ‘Umar telah meriwayatkan dari Badr bin ‘Utsman, dari pamannya, dia menuturkan; Tatkala anggota musyawarah telah menyatakan janji setia (baiat) kepada ‘Utsman, dia keluar dan dia tampak orang yang sangat bersedih di antara mereka, lalu dia menyampaikan pidatonya di hadapan sejumlah kaum muslimin; dia pertama-tama memuji Allah dan mengucapkan shalawat kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama. Dia berkata;
Sesungguhnya kalian berada di dunia tempat yang akan tercerabut (berubah dan ditinggal pergi) dan sedang menjalani sisa-sisa hidup kalian, maka segeralah kalian sambut akhir masa hidup kalian dengan kebaikan yang mampu kalian lakukan, sungguh kalian diberikan karunia hidup, sepanjang pagi dan sore. Ingatlah sesungguhnya kehidupan dunia itu diapit dengan tipu daya syaithan
“Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaithan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah.” (QS. Luqman: 33)

Ambillah pelajaran melalui orang-orang yang terdahulu, kemudian bersungguh-sungguhlah kalian dan jangan kalian lalai; dimanakah orang yang menyanjung-nyanjung kehidupan dunia dan kawan-kawannya, yang lebih memilih mendahulukan kesenangan dunia, meramaikannya, dan dibalut dengan kesenangan dunia yang sangat lama, bukankah dia telah mengatakan kepadanya: Buanglah dunia sekiranya Allah memerintahkan membuangnya, dan carilah kehidupan akhirat, karena sesungguhnya Allah telah membuat perumpamaan
mengenai kehidupan dunia, dan sesuatu yang terbaik, Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman;

“Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 45-46)

Pamannya Badr bin ‘Utsman berkata: Dan orang-orang pun berdatangan hendak menyatakan janji setia kepadanya. Menurutku (i.e al-Hafizh Ibnu Katsir), pidato ini ada kemungkinan disampaikan sesudah shalat ‘Ashr pada hari itu juga, atau sebelum matahari tergelincir, sedangkan ‘Abdurrahman bin ‘Auf duduk di ujung mimbar, keterangan ini lebih mendekati kebenaran. Wallaahu a’lam.” [Silahkan lihat al-Bidayah wan-Nihaayah, 10/215-216. Daar Hijr Li ath-Thaba’ah wa an-Nashr at-Tawzi’, Tahqiq: asy-Syaikh DR. Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turkiy]
Inilah pidato pertama (nan singkat namun padat) yang disampaikan oleh amirul mukminin di hadapan kaum muslimin pasca beliau terpilih menggantikan khalifah terbimbing sebelumnya yang telah wafat, i.e berisi nasihat agar kaum muslimin berhati-hati dari tipu daya dunia (insyaAllah jika ada waktu luang akan kami kutipkan pidato-pidato beliau radhiyallaahu ‘anhu yang lain, red). Jadi teringat hadist shahih berikut;

“Demi Allah!, bukanlah kefakiran (kemiskinan) yang aku takutkan atas kalian, akan tetapi yang aku takutkan adalah jika dunia dibentangkan (lebar-lebar) atas kalian sebagaimana telah dibentangkan atas orang-orang sebelum kalian, lalu kalian (saling) berlomba-lomba padanya sebagaimana orang-orang sebelum kalian (saling) berlomba-lomba dan (akhirnya dunia) menghancurkan kalian sebagaimana ia telah menghancurkan orang-orang sebelum kalian.” 
(HR. Al-Bukhariy no. 3158)
Dan sepertinya  nasihat amirul mukminin pada pidatonya diatas, i.e “Ambillah pelajaran melalui orang-orang yang terdahulu.” ada kaitannya dengan sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhariy tersebut, i.e orang-orang sebelum kalian

Yakni bahwa ketika dunia (harta, kekuasaan dll) terbuka lebar di depan mata, dan ada kesempatan besar untuk meraihnya, maka orang-orang akan saling berlomba-lomba memperebutkannya dengan berbagai cara (halal haram menjadi samar, red), hingga mereka lalai, menganggap biasa dan lumrah sesuatu yang tak biasa seperti bermewah-mewahan, pemborosan, mengambil harta dengan cara bathil dll, hingga akhirnya mereka berpecah belah, saling mendengki satu sama lain, saling menjatuhkan satu sama lain, sunnah-sunnah ditinggalkan, tidak berdiri dengan sungguh-sungguh di atas al-Kitab wa sunnah yang para generasi terbaik ummat ini (para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in) berdiri diatasnya, akan tetapi di atas kepentingan dan keta’ashuban terhadap kelompoknya masing-masing (hizbiyyah). 

Kalau pun nasihat para Khulafa ar-Rasyidin dan para salaf ash-Shalih itu diambil, umumnya hanya sebagian saja yang hanya mencocoki kepentingan kelompoknya, memuaskan dahaga ambisinya atau hanya sekedar menjadikannya slogan-slogan belaka tanpa benar-benar diamalkan. Dahulu, dunia telah menghancurkan dan membinasakan orang-orang sebelum kita yang begitu tamak (terhadapnya), dan kini kita diminta untuk waspada dan tidak lalai, agar peristiwa serupa tidak terulang kembali di zaman ini. 

Mudah-mudahan Allah Azza wa Jall memberikan kita semua petunjuk kepada jalan yang lurus dan meneguhkan hati para pemimpin kita di atas kebaikan dan kebenaran.




No comments:

Post a Comment