image

image

Sunday, November 10, 2013

BETUL kan (pemikiran) JAUHI keSESATan





KETAHUILAH SEMUA BID’AH ITU SESAT

Perlu  diketahui bersama bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamsesungguhnya sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama,pen)’, ‘setiap bid’ah adalah sesat’, dan ‘setiap kesesatan adalah di neraka’ serta peringatan beliau terhadap perkara yang diada-adakan dalam agama, semua ini adalah dalil tegas dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka tidak boleh seorang pun menolak kandungan makna berbagai hadits yang mencela setiap bid’ah. Barangsiapa menentang kandungan makna hadits tersebut maka dia adalah orang yang hina. (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/88, Ta’liq Dr. Nashir Abdul Karim Al ‘Aql)

Tidak boleh bagi seorang pun menolak sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, lalu mengatakan ‘tidak semua bid’ah itu sesat’. (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93)


Perlu pembaca sekalian pahami bahwa lafazh ‘kullu’ (artinya : semua) pada hadits,

وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

setiap bid’ah adalah sesat”, dan hadits semacamnya dalam bahasa Arab dikenal dengan lafazh umum.

Asy Syatibhi mengatakan, “Para ulama memaknai hadits di atas sesuai dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah yang baik.” (Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 91, Darul Ar Royah)

Inilah pula yang dipahami oleh para sahabat generasi terbaik umat ini. Mereka menganggap bahwa setiap bid’ah itu sesat walaupun sebagian orang menganggapnya baik. Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)


Juga terdapat kisah yang telah masyhur dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan,

فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ، وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحِى بَابِ ضَلاَلَةٍ.

Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah)?

قَالُوا : وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ

Mereka menjawab, ”Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.


Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)

Lihatlah kedua sahabat ini -yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud- memaknai bid’ah dengan keumumannya tanpa membedakan adanya bid’ah yang baik (hasanah) dan bid’ah yang jelek (sayyi’ah).


BERALASAN DENGAN SHALAT TARAWIH YANG DILAKUKAN OLEH UMAR

[Sanggahan pertama]


Adapun shalat tarawih (yang dihidupkan kembali oleh Umar) maka dia bukanlah bid’ah secara syar’i. Bahkan shalat tarawih adalah sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dilihat dari perkataan dan perbuatan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat tarawih secara berjama’ah pada awal Ramadhan selama dua atau tiga malam. Beliau juga pernah shalat secara berjama’ah pada sepuluh hari terakhir selama beberapa kali. Jadi shalat tarawih bukanlah bid’ah secara syar’i. Sehingga yang dimaksudkan bid’ah dari perkataan Umar bahwa ‘sebaik-baik bid’ah adalah ini’ yaitu bid’ah secara bahasa dan bukan bid’ah secara syar’i. Bid’ah secara bahasa itu lebih umum (termasuk kebaikan dan kejelekan) karena mencakup segala yang ada contoh sebelumnya.


Perlu diperhatikan, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan dianjurkan atau diwajibkannya suatu perbuatan setelah beliau wafat, atau menunjukkannya secara mutlak, namun hal ini tidak dilakukan kecuali setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat (maksudnya dilakukan oleh orang sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), maka boleh kita menyebut hal-hal semacam ini sebagai bid’ah secara bahasa. Begitu pula agama Islam ini disebut dengan muhdats/bid’ah (sesuatu yang baru yang diada-adakan) –sebagaimana perkataan utusan Quraisy kepada raja An Najasiy mengenai orang-orang Muhajirin-. Namun yang dimaksudkan dengan muhdats/bid’ah di sini adalah muhdats secara bahasa karena setiap agama yang dibawa oleh para Rasul adalah agama baru.  (Disarikan dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93-96)


[Sanggahan Kedua]

Baiklah kalau kita mau menerima perkataan Umar bahwa ada bid’ah yang baik. Maka kami sanggah bahwa perkataan sahabat jika menyelisihi hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menjadi hujah (pembela). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sedangkan Umar menyatakan bahwa ada bid’ah yang baik. Sikap yang tepat adalah kita tidak boleh mempertentangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan sahabat. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencela bid’ah secara umum tetap harus didahulukan dari perkataan yang lainnya. (Faedah dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim)


[Sanggahan Ketiga]

Anggap saja kita katakan bahwa perbuatan Umar adalah pengkhususan dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat. Jadi perbuatan Umar dengan mengerjakan shalat tarawih terus menerus adalah bid’ah yang baik (hasanah). Namun, ingat bahwa untuk menyatakan bahwa suatu amalan adalah bid’ah hasanah harus ada dalil lagi baik dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’ kaum muslimin. Karena ingatlah –berdasarkan kaedah ushul fiqih- bahwa sesuatu yang tidak termasuk dalam pengkhususan dalil tetap kembali pada dalil yang bersifat umum.

Misalnya mengenai acara selamatan kematian. Jika kita ingin memasukkan amalan ini dalam bid’ah hasanah maka harus ada dalil dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’. Kalau tidak ada dalil yang menunjukkan benarnya amalan ini, maka dikembalikan ke keumuman dalil bahwa setiap perkara yang diada-adakan dalam masalah agama (baca : setiap bid’ah) adalah sesat dan tertolak.

Namun yang lebih tepat, lafazh umum yang dimaksudkan dalam hadits ‘setiap bid’ah adalah sesat’ adalah termasuk lafazh umum yang tetap dalam keumumannya (‘aam baqiya ‘ala umumiyatihi) dan tidak memerlukan takhsis (pengkhususan). Inilah yang tepat berdasarkan berbagai hadits dan pemahaman sahabat mengenai bid’ah.


Lalu pantaskah kita orang-orang saat ini memakai istilah sebagaimana yang dipakai oleh sahabat Umar? 


Ingatlah bahwa umat Islam saat ini tidaklah seperti umat Islam di zaman Umar radhiyallahu ‘anhu. Umat Islam saat ini tidak seperti umat Islam di generasi awal dahulu yang memahami maksud perkataan Umar. Maka tidak sepantasnya kita saat ini menggunakan istilah bid’ah (tanpa memahamkan apa bid’ah yang dimaksudkan) sehingga menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat. Jika memang kita mau menggunakan istilah bid’ah namun yang dimaksudkan adalah definisi secara bahasa, maka selayaknya kita menyebutkan maksud dari perkataan tersebut.

Misalnya HP ini termasuk bid’ah secara bahasa. Tidaklah boleh kita hanya menyebut bahwa HP ini termasuk bid’ah karena hal ini bisa menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat.


Kesimpulan : Berdasarkan berbagai dalil dari As Sunnah maupun perkataan sahabat, setiap bid’ah itu sesat. Tidak ada bid’ah yang baik (hasanah). Tidak tepat pula membagi bid’ah menjadi lima : wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram karena pembagian semacam ini dapat menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat.

Tambahan
Menurut Paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah selain Al Qur’an dan Hadits juga ada yang namanya IJTIHAD IJMA’ ULAMA. “Diriwayatkan dari Muadz bin Jabal, bahwa pada saat Rasulullah saw mengutusnya ke negeri Yaman, beliau saw bertanya: “Bagaiamana kamu memutuskan suatu persoalan jika disodorkan kepada sebuah masalah?”. Muadz menjawab, “Saya memutuskan dengan Kitab Allah”. Nabi saw bertanya lagi, “Jika kamu tidak menemukan di dalam Kitab Allah?”. Muadz menjawab, “Dengan Sunnah Rasulullah saw”. Kembali, Nabi bertanya, “Jika kamu tidak menemukan di dalam Sunnah?”. Dia menjawab, “Saya melakukan ijtihad dan tidak bertindak sewenang-wenang”. Kemudian, Muadz bercerita, “Rasulullah saw menepuk dadanya dan bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah dengan sesuatu (keputusan) yang diridhai Rasulullah saw”. (Sunan al-Darimi, 168 dan Abu Daud) 

“Diriwayatkan dari ‘Amr bin Ash, bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda, “Apabila seorang hakim memutuskan perkara, lalu ia melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenarannya). Jika hakim itu memutuskan perkara, lalu berijtihad dan hasilnya salah, maka baginya satu pahala (pahala ijtihadnya)”. 
(Musnad Ahmad bin Hambal, 17148). 

Thursday, November 7, 2013

AMAL kamu



Kamu sudah pun berumah tangga

Rumah kamu jenis sebuah, di tepi lautan luas, pemandangannya indah dan menarik minat ramai

Disebabkan kamu memilih, hubungan dengan manusia, kamu berkata Islam untuk semua
Maka berduyun duyunlah, manusia mendatanginya, daripada kaum keluarga kamu, kaum keluarga isteri isteri kamu, serta daripada kenalan mereka, serta yang belum di kenal, sesuai dengan sifat, Islam untuk semua, 

Kamu berfikiran jauh, lalu menyediakan sebuah pelabuhan, untuk memudahkan orang ramai berhenti, merehatkan diri dari penat lelah satelah bekerja, juga kemudahan untuk sesiapa sahaja, singgah, asal saja lulus imigresen, boleh masuk dan berbual. 

Sementara yang tidak ada kelulusan Imigresen tak dapat masuk berbual, hanya dapat melihat dari luaran sahaja, namun jelas perkataan yang terpampang, namun jika diri sendiri tak dapat memahami, ada dua pendapat mengenainya

Pertama;
1.       Allah tidak izinkan kamu melihat dan memahami, kerana sikap dan sifat dalaman diri kamu sendiri, yang di kategorikan sebagai munafik dan kafir, untuk memahami ini, sebagai muslim hendaklah merujuk kepada penerangan al-Quran, surah al baqarah, ayat ayat yang mengkategorikan, golongan manusia. SubhanAllaah

      Kedua
2.       Allah mengizinkan, kamu memerhati, meneliti, memahami, walaupun melihat dari luar sahaja, kamu dapat mengertikan, apa yang orang dalam itu sedang bualkan

Islam untuk semua jadi halatuju yang di utamakan

Namun ada beberapa pegawai kamu, serta diri kamu sendiri, merasa lelah untuk melayan kelakuan yang berbagai. Kamu rasa kamu kena buat sesuatu, lalu kamu mengeluarkan perkataan, “pi cari tempat lain” jika tak mahu ikut peraturan disini

Kamu rasa kamu BENAR – Terbaik – kerana Allah juga menyuruh demikian, carilah lain tempat jika tak hendak berhukum dengan apa yang Allah berikan, Namun Allah memberikan tempoh, sebagaimana tempoh kepada Iblis, sampai kepada masa yang di tentukan, iaitu Hari Kiamat, hari kematian masing masing diri

Sementara itu Hisablah diri kamu – apakah kamu melakukan kebaikan?
Ataukah kamu juga terburu nafsu?

Jangan lah sekutukan Allah dengan sesuatu yang lain, Subhanallah

Sekiranya Berjaya menghisab diri, Dapatlah Memaafkan sekalian manusia lainnya, dan segera memohon keampunan Allah mu, agar Allah memelihara diri mu, dari melakukan kesilapan

Akhir pembicaraan ini, Ingatlah pesanan Allah, 

Wahai orang yang beriman, peliharalah diri mu, dan juga ahli keluarga kamu, daripada seksa api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu

Sampaikanlah dari Ku walau satu ayat, dan jangalah kamu menyembunyikan kebenaran sebagaimana golongan yahudi, dan janganlah kamu menyeleweng mengikut sangkaan nafsu mu sebagaimana nasrani, 

InshaAllah


Wednesday, November 6, 2013

Niat, Ikhlas, Nazar







Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Nazar tidak sah jika hanya sebatas niat atau belum diucapkan. Misalnya seseorang berniat, jika dia lulus ujian tahun ini, akan berpuasa Daud selama sebulan lillahi ta’ala. Sebatas niat semacam ini, belum dianggap nazar yang sah, yang wajib dia laksanakan.

Fairuz Abadzi – ulama syafiiyah – menegaskan,
ولا يصح النذر إلا بالقول
“Nazar tidak sah, kecuali diucapkan.” (Al-Muhadzab, 1/440) .

An-Nawawi dalam syarah Muhadzab memberikan penjelasan,
وهل يصح بالنية من غير قول … (الصحيح) باتفاق الأصحاب أنه لا يصح إلا بالقول ولا تنفع النية وحدها
Apakah nazar sah semata dengan niat, tanpa diucapkan…(yang kuat) berdasarkan sepakat ulama madzhab Syafii, bahwa tidak sah nazar kecuali diucapkan. Niat semata, tidak bermanfaat (tidak dianggap). (Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 8/451)

Hal yang sama juga dinyatakan Al-Mardawi – ulama hambali – dalam Al-Inshaf,
ولا يصح (النذر) إلا بالقول ، فإن نواه من غير قول : لم يصح بلا نزاع
Nazar tidak sah kecuali dengan diucapkan. Jika dia hanya berniat, namun tidak dia ucapkan, tidak sah nazarnya, tanpa ada perbedaan pendapat. (Al-Inshaf, 11/118)


Sebagai tambahan 

 Nazar (vow) - sumpah yang dilakukan oleh seseorang dengan tujuan ibadat, bukan bernazar nak belanja makan; ini janji. Contoh nazar: "Sekiranya penyakit aku baik, aku bernazar akan melakukan puasa sunnat 7 hari"; "Aku berjanji kepada Allah akan menunaikan Haji tahun ini". Ibn Wahb berkata, diriwayatkan dari Sufyan al-Thawri dari Firaas, dari Al-Syu'bi: Jika seseorang berkata "Aku berjanji kepada Allah....." maka ini dikatakan NAZAR (Abu Bakr al-Jassaas,fi Ahkaam al-Qur’aan (3/208. Jumhur ulama' menyatakan bahawa hukum nazar ini adalah Makruh. Dari hadith riwayat Abu Hurairah ra:


  • "Jangan kamu bernazar, kerana sesungguhnya nazar tidak boleh mengubah qadar sesuatu, apa yang dilakukan ialah mengambil sesuatu dari orang yang tamak" -[Hadith riwayat al-Bukhaari #6609, Muslim #1640].

Al-Hafiz Al-Imam Al-Nawawi didalam Sharh Muslim menasihatkan bahawa:

  • "Orang beriman hendaklah mengelakkan dari melakukan perkara yang Nabi saw larang. Barangsiapa ingin mentaati Allah, maka biarlah dia melakukannya tanpa nazar"

Barangsiapa yang tidak menunaikan nazarnya, maka ia dikenakan kifarah. Kifarahnya adalah membebaskan seorang hamba, atau memberi makan atau pakaian kepada 10 orang miskin, atau barangsiapa yang tidak mampu melakukan semua itu hendaklah ia berpuasa 3 hari. Firman Allah swt:-

  • "Kamu tidak dikira salah oleh Allah tentang sumpah-sumpah kamu yang tidak disengajakan (untuk bersumpah), akan tetapi kamu dikira salah olehNya dengan sebab sumpah yang sengaja kamu buat dengan bersungguh-sungguh. Maka bayaran dendanya ialah memberi makan sepuluh orang miskin dari jenis makanan yang sederhana yang kamu (biasa) berikan kepada keluarga kamu atau memberi pakaian untuk mereka, atau memerdekakan seorang hamba. Kemudian sesiapa yang tidak dapat (menunaikan denda yang tersebut), maka hendaklah dia berpuasa tiga hari. Yang demikian itu ialah denda penebus sumpah kamu apabila kamu bersumpah dan jagalah (peliharalah) sumpah kamu. Demikianlah Allah menerangkan kepada kamu ayat-ayatNya (hukum-hukum agamaNya) supaya kamu bersyukur." -[al-Maa'idah 5:89]
  •  

Kepentingan ILMU dan HIJRAH

Alhamdulillah, syukur atas nikmat Allah, izinnya memberikan kita Ilmu dan nikmat Islam dan Iman, inshallah

Kepada Ibu Bapa yang sudah beranak pinak, hendaklah sedar akan kepentingan Ilmu Fardhu Ain ke atas setiap peribadi muslim, agar halatuju diri dapat di perbaiki, dan terjaga

Kepada setiap Peribadi manusia khususnya Muslim, yang sedar, silakan kembalilah menuntut Ilmu Fardhu Ain, agar masalah di hadapan kalian dapat kalian hadapi dengan ilmu pengetahuan, dan Ingat Allaah

dapatkah kita melihat? berbagai persoalan yang di timbulkan oleh manusia, samada muslim, atau belum Islam, apabila tiada Ilmu Pengetahuan Fardhu Ain, asas Hukum , halal dan haram, Harus dan sunat, makruh dan mubah, banyaklah persoalan tak dapat di nilai

Sesungguhnya, menilai itulah yang telah hilang dari dada umat, akibat tahu menurut sahaja, tidak dapat memikirkan dan menilai, serta memilih kebaikan

Hikmah yang Hilang
Adalah Kuasa dan Izin Allah atas peribadi masing masing
setara mana kita Ingat dan berserah Allah

Dalam dunia pekerjaan hari ini, peribadi di nilai dengan prestasi, dan kejayaan di ukur atas prestasi yang lebih tinggi dan hubungan baik dengan atasan. Hubungan sesama manusia, dan hubungan dengan Allah hendaklah kita mengikhlaskan diri, semoga di pimpin Allah ke Jalan yang di redhaiNya

saya lihat ada yang bertanyakan hukum, pernikahan Gays - subhanallah
Hubungan sejenis itu Haram
Sekiranya hubungan sejenis itu Haram, sudah tentu tak akan bertanya, hal pernikahan gays
sememangnya Haram

begitu ya apabila tak memahami Ilmu Fardhu Ain, tak tahu asas Hukum, lalu bertanya soalan yang bukan bukan, sepertimana kaum bani israil, yang mana pemimpin mereka suka menyembunyikan kebenaran. sedangkan tatkala solat di baca Fatihah, semoga sedarlah apa yang telah dan sedang di lakukan itu

Bukanlah persoalan ini untuk mendedahkab keaiban sesiapa, sebaliknya Islam mengutamakan Menuntut Ilmu

Utamakan Ilmu Fardhu Ain, inshallah
Kemudian tuntutlah segala ilmu apa apa pun, semoga dapat menjadikan kalian, lebih Ingat Allah

Inshallah

Selamat meraikan tahun baru Hijrah
inshallah