KETAHUILAH SEMUA BID’AH ITU SESAT
Perlu
diketahui bersama bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
‘sesungguhnya sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang diada-adakan
(dalam agama,pen)’, ‘setiap bid’ah adalah sesat’, dan
‘setiap kesesatan adalah di neraka’ serta peringatan beliau terhadap
perkara yang diada-adakan dalam agama, semua ini adalah dalil tegas dari beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka tidak boleh seorang pun menolak
kandungan makna berbagai hadits yang mencela setiap bid’ah. Barangsiapa
menentang kandungan makna hadits tersebut maka dia adalah orang yang hina. (Iqtidho’
Shirotil Mustaqim, 2/88, Ta’liq Dr. Nashir Abdul Karim Al ‘Aql)
Tidak
boleh bagi seorang pun menolak sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, lalu
mengatakan ‘tidak semua bid’ah itu sesat’. (Iqtidho’ Shirotil
Mustaqim, 2/93)
Perlu
pembaca sekalian pahami bahwa lafazh ‘kullu’ (artinya : semua) pada
hadits,
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“setiap
bid’ah adalah sesat”, dan hadits semacamnya dalam bahasa Arab dikenal
dengan lafazh umum.
Asy
Syatibhi mengatakan, “Para ulama memaknai hadits di atas sesuai dengan keumumannya,
tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu, tidak ada dalam
hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah yang baik.” (Dinukil dari Ilmu
Ushul Bida’, hal. 91, Darul Ar Royah)
Inilah
pula yang dipahami oleh para sahabat generasi terbaik umat ini. Mereka
menganggap bahwa setiap bid’ah itu sesat walaupun sebagian orang menganggapnya
baik. Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ
رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap
bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al
Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)
Juga
terdapat kisah yang telah masyhur dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang
sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan
cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan,
فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا
ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ
مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله
عليه وسلم- مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ
تُكْسَرْ ، وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى
مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحِى بَابِ ضَلاَلَةٍ.
“Hitunglah
dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan
kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat
kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi
yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih
baik dari agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan
(bid’ah)?”
قَالُوا : وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ
الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ
لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
Mereka
menjawab, ”Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah
menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu
Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun
tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad
bahwa sanad hadits ini jayid)
Lihatlah kedua sahabat ini -yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud- memaknai
bid’ah dengan keumumannya tanpa membedakan adanya bid’ah yang baik (hasanah)
dan bid’ah yang jelek (sayyi’ah).
BERALASAN DENGAN SHALAT TARAWIH YANG DILAKUKAN OLEH UMAR
[Sanggahan pertama]
Adapun
shalat tarawih (yang dihidupkan kembali oleh Umar) maka dia bukanlah bid’ah
secara syar’i. Bahkan shalat tarawih adalah sunnah beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam dilihat dari perkataan dan perbuatan beliau. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat tarawih secara berjama’ah pada
awal Ramadhan selama dua atau tiga malam. Beliau juga pernah shalat secara
berjama’ah pada sepuluh hari terakhir selama beberapa kali. Jadi shalat tarawih
bukanlah bid’ah secara syar’i. Sehingga yang dimaksudkan bid’ah dari perkataan
Umar bahwa ‘sebaik-baik bid’ah adalah ini’ yaitu bid’ah secara
bahasa dan bukan bid’ah secara syar’i. Bid’ah secara bahasa itu lebih
umum (termasuk kebaikan dan kejelekan) karena mencakup segala yang ada contoh
sebelumnya.
Perlu
diperhatikan, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menunjukkan dianjurkan atau diwajibkannya suatu perbuatan setelah beliau wafat,
atau menunjukkannya secara mutlak, namun hal ini tidak dilakukan kecuali
setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat (maksudnya
dilakukan oleh orang sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen),
maka boleh kita menyebut hal-hal semacam ini sebagai bid’ah secara
bahasa. Begitu pula agama Islam ini disebut dengan muhdats/bid’ah
(sesuatu yang baru yang diada-adakan) –sebagaimana perkataan utusan Quraisy
kepada raja An Najasiy mengenai orang-orang Muhajirin-. Namun yang dimaksudkan
dengan muhdats/bid’ah di sini adalah muhdats secara bahasa
karena setiap agama yang dibawa oleh para Rasul adalah agama baru.
(Disarikan dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93-96)
[Sanggahan Kedua]
Baiklah
kalau kita mau menerima perkataan Umar bahwa ada bid’ah yang baik. Maka kami
sanggah bahwa perkataan sahabat jika menyelisihi hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak bisa menjadi hujah (pembela). Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sedangkan
Umar menyatakan bahwa ada bid’ah yang baik. Sikap yang tepat adalah kita tidak
boleh mempertentangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
perkataan sahabat. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
mencela bid’ah secara umum tetap harus didahulukan dari perkataan yang lainnya.
(Faedah dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim)
[Sanggahan Ketiga]
Anggap
saja kita katakan bahwa perbuatan Umar adalah pengkhususan dari hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah
itu sesat. Jadi perbuatan Umar dengan mengerjakan shalat tarawih terus menerus
adalah bid’ah yang baik (hasanah). Namun, ingat bahwa untuk menyatakan bahwa
suatu amalan adalah bid’ah hasanah harus ada dalil lagi baik dari Al Qur’an, As
Sunnah atau ijma’ kaum muslimin. Karena ingatlah –berdasarkan kaedah ushul
fiqih- bahwa sesuatu yang tidak termasuk dalam pengkhususan dalil tetap kembali
pada dalil yang bersifat umum.
Misalnya
mengenai acara selamatan kematian. Jika kita ingin memasukkan amalan ini dalam
bid’ah hasanah maka harus ada dalil dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’. Kalau
tidak ada dalil yang menunjukkan benarnya amalan ini, maka dikembalikan ke
keumuman dalil bahwa setiap perkara yang diada-adakan dalam masalah agama (baca
: setiap bid’ah) adalah sesat dan tertolak.
Namun
yang lebih tepat, lafazh umum yang dimaksudkan dalam hadits ‘setiap bid’ah
adalah sesat’ adalah termasuk lafazh umum yang tetap dalam keumumannya (‘aam
baqiya ‘ala umumiyatihi) dan tidak memerlukan takhsis
(pengkhususan). Inilah yang tepat berdasarkan berbagai hadits dan pemahaman
sahabat mengenai bid’ah.
Lalu pantaskah kita orang-orang saat ini memakai istilah sebagaimana yang
dipakai oleh sahabat Umar?
Ingatlah
bahwa umat Islam saat ini tidaklah seperti umat Islam di zaman Umar radhiyallahu
‘anhu. Umat Islam saat ini tidak seperti umat Islam di generasi awal
dahulu yang memahami maksud perkataan Umar. Maka tidak sepantasnya kita saat
ini menggunakan istilah bid’ah (tanpa memahamkan apa bid’ah yang dimaksudkan)
sehingga menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat. Jika memang kita mau
menggunakan istilah bid’ah namun yang dimaksudkan adalah definisi secara
bahasa, maka selayaknya kita menyebutkan maksud dari perkataan tersebut.
Misalnya
HP ini termasuk bid’ah secara bahasa. Tidaklah boleh kita hanya menyebut bahwa
HP ini termasuk bid’ah karena hal ini bisa menimbulkan kerancuan di
tengah-tengah umat.
Kesimpulan :
Berdasarkan berbagai dalil dari As Sunnah maupun perkataan sahabat, setiap
bid’ah itu sesat. Tidak ada bid’ah yang baik (hasanah). Tidak tepat pula
membagi bid’ah menjadi lima : wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram karena
pembagian semacam ini dapat menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat.
Tambahan
Menurut Paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah selain Al Qur’an dan
Hadits juga ada yang namanya IJTIHAD IJMA’ ULAMA. “Diriwayatkan dari Muadz bin
Jabal, bahwa pada saat Rasulullah saw mengutusnya ke negeri Yaman, beliau saw
bertanya: “Bagaiamana kamu memutuskan suatu persoalan jika disodorkan kepada
sebuah masalah?”. Muadz menjawab, “Saya memutuskan dengan Kitab Allah”. Nabi
saw bertanya lagi, “Jika kamu tidak menemukan di dalam Kitab Allah?”. Muadz
menjawab, “Dengan Sunnah Rasulullah saw”. Kembali, Nabi bertanya, “Jika kamu tidak
menemukan di dalam Sunnah?”. Dia menjawab, “Saya melakukan ijtihad dan tidak
bertindak sewenang-wenang”. Kemudian, Muadz bercerita, “Rasulullah saw menepuk
dadanya dan bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk
kepada utusan Rasulullah dengan sesuatu (keputusan) yang diridhai Rasulullah
saw”. (Sunan al-Darimi, 168 dan Abu Daud)
“Diriwayatkan dari ‘Amr bin Ash,
bahwa dia mendengar Rasulullah saw bersabda, “Apabila seorang hakim memutuskan
perkara, lalu ia melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia
memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenarannya). Jika hakim itu
memutuskan perkara, lalu berijtihad dan hasilnya salah, maka baginya satu
pahala (pahala ijtihadnya)”.
(Musnad Ahmad bin Hambal, 17148).