image

image

Tuesday, May 14, 2013

PESANAN dan PERINGATAN


Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama bersabda;


فعليكم بسنَّتي وسنَّة الخلفاء الراشدين المهديِّين، عضُّوا عليها بالنَّواجذ

“Maka wajib bagi kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah al-Khulafa ar-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah dengan gigi geraham..” [HR. Abu Dawud no. 4607, Ahmad 4/126-127, dan at-Tirmidzi no. 2676]

al-Imam al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbaly –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 795 H) berkata dalam syarh-nya;

والسنَّة هي الطريقة المسلوكة، فيشمل ذلك التمسُّك بما كان عليه هو وخلفاؤه الراشدون منالاعتقادات والأعمال والأقوال، وهذه هي السنَّة الكاملة، ولهذا كان السلف قديماً لا يطلقون اسم السنَّة إلاَّ على ما يشمل ذلك كلَّه

“Sunnah adalah jalan yang dilalui. Sehingga sunnah mencakup apa-apa yang beliau –Shallallaahu ‘alahi wa sallama- jalani dan apa-apa yang dijalani oleh para Khulafa ar-Rasyidin berupa akidah, perbuatan dan ucapan. Inilah sunnah yang sempurna. Oleh karena itu generasi salaf dahulu tidak menamakan sunnah kecuali apa saja yang mencakup semuanya (i.e ketiga aspek tersebut).” [Jaami’ul ‘Ulum wa al-Hikam, 2/120. Mu’assasah ar-Risalah, Beirut]

Guru besar ilmu Hadits (Emeritus) Universitas Islam Madinah al-Munawwaroh dan pengajar tetap di Masjid Nabawi KSA, asy-Syaikh al-‘Allamah Abdul Muhsin bin Hamd al-‘Abbad al-Badr –hafizhahullaahu Ta’ala- menjelaskan;

وقد حثَّ رسول الله صلى الله عليه وسلم على التمسُّك بسنَّته وسنَّة خلفائه الراشدين بقوله: "فعليكم"، وهي اسم فعل أمر، ثم أرشد إلى شدَّة التمسُّك بها بقوله: "عضُّوا عليها بالنَّواجذ"، والنواجذ هي الأضراس، وذلك مبالغة في شدَّة التمسُّك بها.

“Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama telah memotivasi untuk berpegang teguh kepada sunnahnya dan sunnah para Khulafa ar-Rasyidin dengan sabda beliau: ‘Fa’alaykum’ yang berbentuk fi’il ‘amr (kata perintah). Kemudian beliau menuntun untuk berpegang teguh dengan keras dalam sabda beliau, ‘Gigitlah dengan gigi geraham.’ An-Nawaajidz adalah geraham. Ini adalah ungkapan untuk berpegang teguh dengan keras.” [Fathul Qawiy al-Matiin, hal. 98. Daar Ibnu al-Qayyim, Damaam]

Dan beliau radhiyallaahu ‘anhu (yang berpidato pasca ia terpilih sebagai pemimpin umat menggantikan pemimpin sebelumnya yang wafat) ini adalah salah satu di antara para al-Khulafa ar-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas, yang dibersihkan hatinya dari sifat munafik (hati, ucapan dan perbuatannya sama, red), ditazkiyah oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, dan dijamin Surga oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Dan beliau –sebagaimana para shahabat radhiyallaahu ‘anhum ajma’in yang lain- adalah manusia pilihan yang tidak akan ada manusia sepertinya di zaman-zaman setelahnya. al-Hafizh Syaikhul Islam Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah al-Harrani –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 728 H) menjelaskan;


لا كان ولا يكون مثلهم وأنهم هم الصفوة من قرون هذه الأمة التي هي خير الأمم وأكرمها على الله تعالى

“Tiada dan tidak akan ada orang seperti mereka. Dan bahwasanya mereka adalah manusia pilihan daripada/ dibandingkan manusia-manusia dalam abad-abad umat ini yang merupakan umat terbaik dan termulia menurut Allah Ta’ala.” [Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, 2/293. Daar Ibnu al-Jawzee, Riyadh]

Pidato amirul mukminin yang mulia ini kami nukil dari kitab al-Bidayah wan Nihaayah karya al-Hafizh ‘Imaddudin Abul Fida’ Isma’il bin Katsir ad-Dimasyqi –raheemahullaahu Ta’ala-. Sebelum masuk lebih dalam kepada inti artikel, ada baiknya jika kita mendengar pemaparan asy-Syaikh DR. ‘Utsman bin Muhammad al-Khamis –hafizhahullaahu- mengenai “Buku sejarah Islam (terpercaya) apa saja yang sebaiknya kita baca atau kita jadikan referensi/ rujukan, khususnya bagi para pemula seperti kita”, beliau –hafizhahullaahu- berkata;

“Jika anda mampu menganalisis sanad (mata rantai perawi) dan menelitinya, maka bacalah kitab al-Imam ath-Thabari (Tarikh ath-Thabari). Kitab beliau ini adalah pegangan bagi para ulama yang menulis kitab sejarah. Adapun jika anda tidak mampu menganalisis dan meneliti sanad, maka bacalah; 1). Kitab al-Hafizh Ibnu Katsir, al-Bidayah wan Nihaayah; 2). Kitab al-Hafizh adz-Dzahabi, Taarikhul Islam; 3). Kitab al-‘Allamah al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi, al-‘Awashim minal Qawashim, yakni kitab terbaik di antara kitab-kitab lainnya yang membahas periode sejarah pasca wafatnya Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama hingga terbunuhnya al-Hushain radhiyallaahu ‘anhu.” [Hiqbah Min at-Tariikh, hal. 25. Maktabah al-Imam al-Bukhariy]

Ok lanjut; al-Imam al-Hafizh ‘Imaduddin Ibnu Katsir ad-Dimasyqi as-Syafi’i –raheemahullaahu Ta’ala- (w. 774 H) mengatakan mengenai shahabat yang mulia ini dalam kitabnya;

“Dia adalah ‘Ustman bin ‘Affan bin Abu al-Ash bin Umayyah bin ‘Abdu Syams bin ‘Abdu Manaf bin Qushai bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizhar bin Ma’ad bin Adnan, Abu ‘Amr dan Abu ‘Abdillah, al-Qurasyi, al-Umawi, salah seorang Amirul Mukminin yang berjuluk Dzun Nurain (orang yang memiliki dua cahaya karena menikahi dua putri Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama), Shahibul Hijratain (pernah ikut hijrah ke Habasyah dan Hijrah ke Madinah), mengalami shalat di dua arah kiblat (pertama ke Masjidil Aqsha, kedua ke Masjidil Haram), dan suami dari dua putri Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama.

‘Utsman bin ‘Affan –radhiyallaahu ‘anhu- adalah salah seorang shahabat yang dijanjikan masuk surga oleh Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallama, salah satu dari enam anggota tim syura (yang terlibat dalam pemilihan khalifah pasca wafatnya amirul mukminin Umar bin Khaththab radhiyallaahu ‘anhu), satu dari tiga orang yang menjabat sebagai khalifah dari enam kandidat yang ada, selanjutnya secara aklamasi kaum Muhajirin dan Anshar radhiyallaahu ‘anhum memilih beliau.

‘Utsman bin ‘Affan –radhiyallaahu ‘anhu- adalah khalifah ketiga dan pemimpin yang mendapat petunjuk, dimana seluruh umat diperintahkan untuk mengikuti dan meneladani beliau.” [al-Bidayah wan-Nihaayah, 10/347. Daar Hijr Li ath-Thaba’ah wa an-Nashr at-Tawzi’, Tahqiq: asy-Syaikh DR. Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turkiy]

Sebelum meninggal, Umar bin Khaththab radhiyallaahu ‘anhu telah memutuskan bahwa persoalan suksesi kepemimpinan sesudahnya diselesaikan melalui jalur musyawarah di antara enam orang, mereka adalah ‘Ustman bin ‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin ‘Ubaidillah, az-Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash dan ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallaahu Ta’ala ‘anhum. Dia berusaha menghindari untuk menyerahkan pemerintahan kepada satu orang dari mereka dengan menunjuk nama secara langsung, dia berkata (Tarikh ath-Thabari, 4/228), “Aku tidak bisa menanggung persoalan kalian baik hidup maupun mati, namun jika Allah menghendaki baik pada kalian, pasti Dia akan mempersatukan kalian dengan memilih yang terbaik di antara mereka, seperti Allah mempersatukan kalian dengan memilih yang terbaik di antara kalian sepeninggal Nabi kalian Shallallaahu ‘alaihi wa sallama.” [Silahkan lihat al-Bidayah wan-Nihaayah, 10/208. Daar Hijr Li ath-Thaba’ah wa an-Nashr at-Tawzi’, Tahqiq: asy-Syaikh DR. Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turkiy]

Dan akhirnya Allah Subhaanahu wa Ta’ala menghendaki shahabat yang mulia, ‘Utsman bin ‘Affan –radhiyallaahu ‘anhu-, Dzun Nurain sebagai khalifah yang terbimbing, meneruskan estafet kepemimpinan amirul mukminin sebelumnya, Umar bin Khaththab radhiyallaahu ‘anhu. Setelah beliau terpilih secara aklamasi dan dibaiat oleh seluruh shahabat yang mulia dari kalangan Muhajirin dan Anshar, beliau berpidato yang isinya sangat menggetarkan jiwa. Tidak ada ajakan untuk ta’ashub kepada hizbiyyah. Yang ada hanyalah ajakan untuk mengisi sisa hidup dengan amal shalih, bersungguh-sungguh dalam kebaikan dan tidak lalai terhadap tipu daya dunia yang menggiurkan mata dan hati, serta mendahulukan kehidupan akhirat atas dunia yang fana. Saif bin ‘Umar telah meriwayatkan dari Badr bin ‘Utsman, dari pamannya, dia menuturkan; Tatkala anggota musyawarah telah menyatakan janji setia (baiat) kepada ‘Utsman, dia keluar dan dia tampak orang yang sangat bersedih di antara mereka, lalu dia menyampaikan pidatonya di hadapan sejumlah kaum muslimin; dia pertama-tama memuji Allah dan mengucapkan shalawat kepada Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama. Dia berkata;
Sesungguhnya kalian berada di dunia tempat yang akan tercerabut (berubah dan ditinggal pergi) dan sedang menjalani sisa-sisa hidup kalian, maka segeralah kalian sambut akhir masa hidup kalian dengan kebaikan yang mampu kalian lakukan, sungguh kalian diberikan karunia hidup, sepanjang pagi dan sore. Ingatlah sesungguhnya kehidupan dunia itu diapit dengan tipu daya syaithan
“Maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaithan) memperdayakan kamu dalam (mentaati) Allah.” (QS. Luqman: 33)

Ambillah pelajaran melalui orang-orang yang terdahulu, kemudian bersungguh-sungguhlah kalian dan jangan kalian lalai; dimanakah orang yang menyanjung-nyanjung kehidupan dunia dan kawan-kawannya, yang lebih memilih mendahulukan kesenangan dunia, meramaikannya, dan dibalut dengan kesenangan dunia yang sangat lama, bukankah dia telah mengatakan kepadanya: Buanglah dunia sekiranya Allah memerintahkan membuangnya, dan carilah kehidupan akhirat, karena sesungguhnya Allah telah membuat perumpamaan
mengenai kehidupan dunia, dan sesuatu yang terbaik, Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman;

“Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabbmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. Al-Kahfi: 45-46)

Pamannya Badr bin ‘Utsman berkata: Dan orang-orang pun berdatangan hendak menyatakan janji setia kepadanya. Menurutku (i.e al-Hafizh Ibnu Katsir), pidato ini ada kemungkinan disampaikan sesudah shalat ‘Ashr pada hari itu juga, atau sebelum matahari tergelincir, sedangkan ‘Abdurrahman bin ‘Auf duduk di ujung mimbar, keterangan ini lebih mendekati kebenaran. Wallaahu a’lam.” [Silahkan lihat al-Bidayah wan-Nihaayah, 10/215-216. Daar Hijr Li ath-Thaba’ah wa an-Nashr at-Tawzi’, Tahqiq: asy-Syaikh DR. Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at-Turkiy]
Inilah pidato pertama (nan singkat namun padat) yang disampaikan oleh amirul mukminin di hadapan kaum muslimin pasca beliau terpilih menggantikan khalifah terbimbing sebelumnya yang telah wafat, i.e berisi nasihat agar kaum muslimin berhati-hati dari tipu daya dunia (insyaAllah jika ada waktu luang akan kami kutipkan pidato-pidato beliau radhiyallaahu ‘anhu yang lain, red). Jadi teringat hadist shahih berikut;

“Demi Allah!, bukanlah kefakiran (kemiskinan) yang aku takutkan atas kalian, akan tetapi yang aku takutkan adalah jika dunia dibentangkan (lebar-lebar) atas kalian sebagaimana telah dibentangkan atas orang-orang sebelum kalian, lalu kalian (saling) berlomba-lomba padanya sebagaimana orang-orang sebelum kalian (saling) berlomba-lomba dan (akhirnya dunia) menghancurkan kalian sebagaimana ia telah menghancurkan orang-orang sebelum kalian.” 
(HR. Al-Bukhariy no. 3158)
Dan sepertinya  nasihat amirul mukminin pada pidatonya diatas, i.e “Ambillah pelajaran melalui orang-orang yang terdahulu.” ada kaitannya dengan sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallama dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhariy tersebut, i.e orang-orang sebelum kalian

Yakni bahwa ketika dunia (harta, kekuasaan dll) terbuka lebar di depan mata, dan ada kesempatan besar untuk meraihnya, maka orang-orang akan saling berlomba-lomba memperebutkannya dengan berbagai cara (halal haram menjadi samar, red), hingga mereka lalai, menganggap biasa dan lumrah sesuatu yang tak biasa seperti bermewah-mewahan, pemborosan, mengambil harta dengan cara bathil dll, hingga akhirnya mereka berpecah belah, saling mendengki satu sama lain, saling menjatuhkan satu sama lain, sunnah-sunnah ditinggalkan, tidak berdiri dengan sungguh-sungguh di atas al-Kitab wa sunnah yang para generasi terbaik ummat ini (para shahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in) berdiri diatasnya, akan tetapi di atas kepentingan dan keta’ashuban terhadap kelompoknya masing-masing (hizbiyyah). 

Kalau pun nasihat para Khulafa ar-Rasyidin dan para salaf ash-Shalih itu diambil, umumnya hanya sebagian saja yang hanya mencocoki kepentingan kelompoknya, memuaskan dahaga ambisinya atau hanya sekedar menjadikannya slogan-slogan belaka tanpa benar-benar diamalkan. Dahulu, dunia telah menghancurkan dan membinasakan orang-orang sebelum kita yang begitu tamak (terhadapnya), dan kini kita diminta untuk waspada dan tidak lalai, agar peristiwa serupa tidak terulang kembali di zaman ini. 

Mudah-mudahan Allah Azza wa Jall memberikan kita semua petunjuk kepada jalan yang lurus dan meneguhkan hati para pemimpin kita di atas kebaikan dan kebenaran.




Allah turunkan bala atas kesalahan manusia

Surah al-An'am ayat 38-39

Allah SWT sahaja yang memberi rezeki kepada makhluknya hatta ulat yang berada dalam batu pun Allah Taala kurniakannya.

Jika demikian, ada orang yang bertanya kenapa ada manusia yang kebuluran, tidak dapat makan terutama penduduk di benua Afrika?

Ketahuilah bahawa berlakukan kebuluran adalah bala yang ditimpakan Allah ke atas manusia akibat perbuatan jahat yang dilakukan oleh tangan-tangan mereka.

Maka mereka hendaklah segera bertaubat kepada Allah dan mohonlah keampunan dariNya dan mohonlah agar Allah hilangkan segala kesusahan yang dihadapi oleh kita di dalam kehidupan ini termasuk kebuluran yang dialaminya oleh umat Islam di benua Afrika dan seumpamanya.

Pokoknya ialah Allah memberi rezeki kepada makhluknya sama ada dia hamba-Nya yang beriman atau yang kafir. Semuanya dikurniakan rezeki kerana Allah SWT Maha Pemberi Rezeki kepada semua hamba dan makhluknya di dunia ini.
Satu riwayat daripada Jabir bin Abdillah r.a beliau berkata, "Makanlah belalang kerana ia merupakan satu makanan yang di gemari oleh Sayidina Umar Ibnul Khattab. Satu ketika Sayidina Umar pernah ditanya tentang belalang adakah dia memilikinya. Beliau tidak memperolehi berita mengenainya dan tidak memilikinya buat masa itu dan Sayidina Umar agak sedih kerana tidak dapat sediakan belalang kepada orang yang meminta itu.

"Lalu Sayidina Umar menghantar seseorang untuk mencari serangga tersebut di merata-rata tempat sehingga sampai ke Syria dan Iraq. Setelah puas mencari utusan Umar balik semula menemuinya dan beliau bertanyakan tentang serangga tersebut sama ada utusan itu memperolehinya atau sebaliknya."

Jabir berkata lagi, "Tiba-tiba datang seorang dari Yaman membawa segenggam belalang. Dia membawanya kepada Umar dan menggenggamnya dengan kedua-dua belah tangannya. Apabila Umar melihatnya maka gembiralah ia sambil bertakbir tiga kali. Kemudian Umar berkata, "aku telah mendengar Rasulullah s.a.w bersabda yang bermaksud, "Allah Azza Wajalla telah mencipta 1000 umat. Daripadanya sebanyak 600 umat berada di laut dan 400 umat lagi berada di darat. Dan umat yang paling awal binasa di kalangan mereka ialah belalang. Apabila serangga itu mula binasa akan diikuti dengan kumpulan serangga yang lain mengikut peraturan yang serupa dengan kehancurannya apabila terputusnya rangkaian kehidupannya."

Allah berfirman yang bermaksud, "Kemudian mereka (sekalian) akan dihimpunkan kepada Tuhan mereka (untuk dihisab dan menerima balasan)." (Surah al-An'am :38)

Allah menghimpunkan semua makhluk pada hari akhirat kelak. Binatang pun dihimpunkan di sana, di mana ada riwayat mengatakan bagi binatang berlaku berhitungan terhadap mereka di padang mahsyar.

Selepas selesai perhitungan itu dibuat mereka dimatikan oleh Allah. Perhitungan itu dibuat sama ada di antara binatang itu sesama binatang ataupun dengan manusia. Mereka dibalas pada hari tersebut.

Sementara manusia tidak dimatikan oleh Allah. Perhitungan itu dibuat sama ada ke syurga atau neraka. Begitulah juga jin dan syaitan. Mereka diberi balasan setimpal dengan apa yang mereka telah lakukan di dunia dahulu dan kesudahan mereka juga ialah sama ada ke neraka atau ke syurga.

Seterusnya Allah berfirman yang bermaksud," dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat keterangan Kami, mereka adalah bisu dan tuli." (Surah al-An'am :39)

Yakni perumpamaan sedikitnya ilmu dan kefahaman serta terlalu jahil mereka yang kafir atau munafik itu diumpamakan sebagai manusia yang bisu dan tuli, tidak mahu mendengar keterangan tanda-tanda kebesaran Allah dan kekuasaan-Nya.

Sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Khathir di dalam kitab tafsirnya, bahawa bersama dengan sifat-sifat tersebut menunjukkan mereka juga berada dalam kegelapan, tidak dapat melihat kebenaran.

Bagaimana mereka berupaya keluar daripada kegelapan dan kesesatan sekiranya sifat mereka sedemikian rupa, sudah tentu mereka tidak akan menemui jalan kebenaran sebagaimana dinyatakan oleh Allah di dalam firman-Nya yang bermaksud, "perbandingan hal mereka (golongan munafik itu) samalah seperti orang yang menyalakan api; apabila api itu menerangi sekelilingnya, (tiba-tiba) Allah hilangkan cahaya (yang menerangi mereka dan dibiarkan mereka dalam gelap gelita, tidak dapat melihat sesuatu pun.

"Mereka (seolah-olah orang yang) pekak, bisu dan buta, dengan keadaan itu, mereka tidak akan dapat kembali (kepada kebenaran)." Surah al-Baqarah : 17-18)
 
semoga jadi pelajaran, ambillah ingatan, inshallah
 
 

Tuesday, March 19, 2013

Darjat Ikhlas

TAHAP IKHLAS KEPADA ALLAH


Amal kebajikan apapun hanyalah laksana patung-patung kosong tanpa roh , tiada ertinya dan tidak bermanafaat sama sekali. Hanya amal ibadah yang mengandungi keikhlasan sahaja diterima oleh Allah SWT .

"IKHLAS" mempunyai beberapa tingkatan:

Ikhlasaashul 'Ibaadi.

Maksud ikhlas ini yang terdapat pada sebahagian besar hamba Allah yang melaksanakan amal-amal kebajikan di mana bersih dari dalam hatinya penyakit riya'. Yakni ia beramal bukan mahu menunjuk-nunjuk, bukan ada maksud untuk duniawi seperti mahu dihormati orang atau sebagainya tetapi melakukan amalan dengan mengharapkan balasan pahala dari Allah SWT dan mohon dijauhkan oleh Allah dari segala azab siksa di dunia atau di akhirat. Ikhlas yang begini merupakan keikhlasan tingkat yang terendah dari semua tingkatan keikhlasan.

Ikhlasaashul Muhibbiina.

Keikhasan dalam tingkatan ini adalah di atas nilai keikhlasan Al-'Ibaad. Yang dimaksud dengan keikhlasan Muhibbiin ialah bahawa beramal ibadah itu bukanlah maksudnya kerana mendapatkan pahala Allah dan bukan juga untuk menjauhi dari seksaan dan azab , tetapi tujuan beramal ibadah itu semata-mata untuk membesarkan Allah dan mengagungkanNYA. Sebab itu wali terkenal Rabi'ah Al-'Adawiyah berkata , maksudnya; "Aku tidak menyembah Engkau (ya Allah) kerana takut dari nerakaMU, dan pula tidak menyembah Engkau kerana menghendaki syurgaMU."

Keikhlasan ditingkatan ini tidak lagi dipengaruhi oleh hawa nafsu untuk dunia atau akhirat. Sekiranya masih lagi mengharapkan kesenangan dan kebahagiaan di hari akhirat maka keikhlasan ini belum mencapai ke tingkatan ikhlasaashul Muhibbiin.

Ikhlasashul 'Aarifiina.
Tingkatan keikhlasan tertinggi, merupakan keihklasan sejati yang tertinggi. Hamba Allah yang beramal diperingkat ini, mereka beramal sudah tidak lagi melihat kepada diri mereka, tetapi tertuju kepada Allah yang maha Esa, baik dalam geraknya ataupun dalam dalam diamnya. Betul-betul merasai pengertian hakiki seperti di dalam kalimat :
" Tidak ada daya dan tidak ada kekuatan melainkan dengan Allah Yang Maha Tinggi lagi yang Maha Agung."
Tujuan beramal di sini semata-mata untuk menghampirkan diri kepada Allah SWT. Bermula Tashihul Iradah (memperbaiki tujuan hati supaya menjurus kepada Allah), meningkat kepada Lillaahi Ta'ala adalah sifat setiap ahli ibadah, tetapi ikhlas ditingkatan ini adalah Billaahi Ta'ala, sifat orang yang beribadah semata-mata menuju Allah.
Beza beramal Lillaahi Ta'ala ialah mendirikan dengan baik hukum-hukum lahiriah, dengan beramal Billaahi Ta'ala ialah mendirikan kebaikan yang terkandung dalam hati yang bersih demi untuk tujuan berhampir kepada Allah. Inilah yang dimaksudkan oleh ulamak sufi:
"Betulkan lah amalan anda dengan ikhlas dan betulkan lah keikhlasan anda dengan melepaskan diri dari daya dan kekuatan (makhluk)."
kita lihat pandangan al ghazali
Menurut Imam Ghazali, 'IKHLAS' itu ada 3 tahap iaitu:

i. Tahap hamba - Kita buat sesuatu kerana kita takut Allah  marah

ii. Tahap pedagang - Kita buat sesuatu kerana pahala

iii. Tahap kekasih - Kita buat atas dasar seorang kekasih  kerana kita cintakan Allah

Antara tahap-tahap di atas, tahap kekasih adalah tahap yang paling tinggi antara semua sebab kita sayangkan hubungan kita dengan Allah. 

Jadi, di tahap manakah keikhlasan kita dalam menunaikan perintah Allah? 

Jawapannya terletak di atas pilihan kita sendiri kerana setiap tahap itu ada kesannya yg tersendiri terhadap diri kita

Sekiranya kita memilih:

i. Tahap hamba - Kita akan berasa penat dlm melakukan  ibadah       

ii. Tahap pedagang -  Kita akan berasa ibadah yg kita  lakukan itu sudah mencukupi, walhal
                                  ibadah-ibadah sunnah yg lain perlu  istiqamah

iii. Tahap kekasih - Kita tidak akan berasa penat dan jemu  untuk mendekatkan diri kpd Allah kerana perasan cinta kita kepada Allah sgt  mendalam. Tahap ini boleh dikaitkan dgn
                             kemanisan iman


  
Jadi, "tepuklah dada, tanya iman" ^__^

"Ikhlas itu satu rahsia daripada rahsia-rahsia aku. 
Aku letakkan dalam hati hamba aku yg terbersih" 

sambung sikit lagi

“Manusia tidak akan dapat mencapai hakikat kecuali dirinya suci murni 
kerana sifat sifat keduniaannya tidak akan meninggalkannya 
sehinggalah hakikat menyata dalam dirinya. 
Ini adalah keikhlasan sejati. 
Kejahilannya hanya akan meninggalkannya bila dia menerima pengetahuan tentang Zat Allah. 
 Ini tidak dapat dicapai dengan pelajaran; 
hanya Allah tanpa pengantaraan boleh mengajarnya. 
Bila Allah Yang Maha Tinggi sendiri yang menjadi Guru, 
Dia kurniakan ilmu yang daripada-Nya sebagaimana Dia lakukan kepada Khaidhir. Kemudian manusia dengan kesedaran yang diperolehinya sampai kepada peringkat makrifat di mana dia mengenali Tuhannya dan menyembah-Nya yang dia kenal.” (Syeihk Abdul Qadir Jailani; Sirrul Assrar) 




Sunday, January 13, 2013

Ikhlas Beramal

Kewajiban Ikhlas dalam Beramal

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضي الله عنه قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ : إنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ – وَفِي رِوَايَةٍ : بِالنِّيَّةِ – وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، فَهِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إلَى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ .
Terjemah
Dari Umar bin Khaththab ra, ia berkata; Aku mendengar Rasulullah saw bersabda; Amal itu hanyalah dengan niat, dan bagi setiap orang (balasan) sesuai dengan apa yang diniatkannya. Barangsiapa berhijrah (dengan niat) kepada Allah dan RasulNya, maka (ia mendapatkan balasan) hijrahnya kepada Allah dan RasulNya, dan barangsiapa berhijrah (dengan niat) kepada (keuntungan) dunia yang akan diperolehnya, atau wanita yang akan dinikahinya, maka (ia mendapatkan balasan) hijrahnya kepada apa yang ia hijrah kepadanya.

Kata Kunci;
إنَّمَا : Kata ini berfungsi untuk membatasi suatu kata yang disifati pada sifat tertentu. Karena itu dalam bahasa Indonesia setara dengan arti kata hanyalah. Makna dari fungsi sebagai pembatas ini adalah menetapkan hukum yang disebutkan, dan meniadakan yang tidak tersebut.
النِّيَّات : adalah bentuk jamak dari ( النِّيَّة ) artinya; tujuan dan tekad di dalam hati untuk melakukan sesuatu. Tempatnya niat di dalam hati. Al-Baidlawi mengatakan, “Niat adalah dorongan hati untuk melakukan apa yang dia pandang sesuai dan baik untuk mendatangkan suatu manfaat dan menolak suatu bahaya”
هِجْرَةٌُ : Secara bahasa berarti meninggalkan. Secara syara’ yaitu meninggalkan negeri kafir menuju negara islam, atau dari negeri kacau menuju negeri yang aman. Dan kadang-kadang juga digunakan untuk menyebut sikap meinggalkan kemaksiatan menuju ketaatan
دُنْيَا : berarti dunia. Di dalam hadis ini kata dunia mencakup segala sesuatu yang diinginkan oleh hawa nafsu dan bisa dibanggakan di dunia, mencakup status sosial (kedudukan dan pangkat), harta, atau pun isteri (pasangan hidup). Adapun disebutnya wanita, menunjukkan pengkhususan dunia secara umum.
مَنْ : barangsiapa, di dalam hadis ini berfungsi sebagai syarat. Sehingga kata ( فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ) adalah kalimat syarat, jawabu syaratnya adalah kata (فَهِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ). Dengan susunan seperti ini, kalimat tersebut berarti, ”Barangsiapa berhijrah (dengan tujuan) kepada Allah dan RasulNya maka (ia mendapatkan balasan) hijrahnya kepada Allah dan RasulNya)

Sekilas tentang rawi
Umar bin Khaththab bin Nufail bin Abdul Uzza. Masuk Islam pada tahun ke-6 setelah kenabian. Beliau diangkat sebagai khalifah setelah wafatnya Abu Bakar ash-Shiddiq, atas permintaan Abu Bakar. Menduduki jabatan sebagai khalifah selama 10 tahun. Wafat pada bulan Dzul Hijjah tahun 23 Hiijriyah, dalam usia 63 tahun karena dibunuh oleh musuh yang menyusup.
Penjelasan Singkat:
Hadis ini merupakan sebuah dasar paling penting dalam qaidah Islam. Para ulama’ memberikan penilaian terhadap hadis ini dengan penilaian yang tinggi. Sebagian di antaranya mengatakan hadis ini setengah agama, dan ada juga yang mengatakan sepertiga agama. Nilai pentingnya hadis ini terletak pada informasi yang dikandungnya, menyangkut standar utama diterima atau tidaknya amal manusia.
Rasulullah menginformasikan di dalam hadis ini bahwa amal itu tergantung kepada niatnya. Setiap perbuatan harus ada niat. Tanpa niat, suatu perbuatan tidak akan bernilai di sisi Allah. Demikian juga perbuatan yang diniatkan untuk selain Allah, juga tidak akan bernilai di sisi Allah.
Salah satu contoh amal dalam Islam adalah hijrah, yaitu meninggalkan negeri kufur menuju negeri Islam. Hijrah adalah amal yang sangat penting, hanya akan bernilai di sisi Allah kalau diniatkan karena Allah dan RasulNya. Jika amal itu diniatkan kaena dunia, maka Allah tidak akan memberikan balasan apapun. Jika beruntung, dia akan mendapatkan yang diniatkannya di dunia, dan jika tidak dia tidak akan mendapatkan apa-apa di dunia maupun di akhirat
Niat, akan membedakan apaah seseorang melakukan perbuatan karena kebiasaan belaka, atau sebagai ibadah. Contohnya mandi, apakah mandi itu mandi thaharah atau hanya untuk kebersihan
Niat juga membedakan satu jenis ibadah dengan jenis yang lainnya. Shalat dua rekaat, bisa sama rekaatnya tetapi berbeda pahalanya, karena beda niat. Contoh orang yang masuk masjid lalu ia shalat, ia bisa shalat tahiyyatul masjid, bisa shalat fajar, bisa juga shalat yang lainnya.

Pelajaran dari hadis
1- Niat adalah syarat pokok dalam beramal
2- Beramal dengan niat ikhlash, karena Allah semata.
3- Sah atau batal, sempurna atau kurangnya nilai amal, bahkan apakah suatu amal bernilai ibadah atau sekedar kebiasaan tergantung kepada niat.Orang yang melakukan suatu ibadah dengan niat riya’, ia berdosa. Pahala yang sempurna dari Allah hanya akan diberikan kepada orang yang beribadah dengan niat ikhlas lillahi ta’ala.
4- Tempatnya niat di dalam hati. Perlu atau tidaknya dilafalkan, membutuhkan dalil tersendiri. Jika tidak ada dalil yang memerintahkan untuk melafalkan niat, maka kembali kepada asalnya, niat di dalam hati. Melafalkan niat tanpa dalil bisa masuk ke dalam bid’ah
5- Seseorang harus cermat kepada niat amalnya, sehingga ia bisa beramal dengan niat yang ikhlas karena Alah semata;
6- Kewajiban mewaspadai riya’ dan hal-hal yang merusak keikhlasan.
7- Peringatan dari tujuan keduniaan, karena dunia adalah fitnah (ujian).
8- Melakukan ibadah dengan tujuan duniawi termasuk merusakkan keikhlasan, sehingga Allah tidak memberikan pahala di akhirat.
9- Dhahir hadis menunjukkan bahwa orang beramal akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya, maka orang yang beramal karena kepentingan dunia ia akan mendapatkan hasil di dunia saja. Pemahaman terhadap hadis itu harus dikaitkan dengan firman Allah (al-Isra’:18). Ayat ini menjelaskan bahwa keinginan seseorang untuk mendapatkan keuntungan dunia hanya akan tercapai jika sesuai dengan kehendak Allah.
10- Hijrah adalah sebuah ibadah yang agung. Di dalam sejarah islam, ada beberapa macam hijrah yang terjadi. 1) hijrah dari negeri kacau menuju negeri aman, yaitu dari Mekkah ke habasyah. 2) hijrah dari negeri kufur ke negeri islam, dari Makkah ke Madinah. Dan di dalam hadis disebtkan macam hijrah ke-3, yaitu hijrah dengan meninggalkan yang dilarang oleh islam, sebagaimana sabda beliau
الْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ
Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah
11- Peringatan dari fitnah wanita

Tambahan
1- Niat yang tidak karena Allah itu bertingkat-tingkat. Ada yang murni dan ada yang tidak.
a. Yang murni adalah melakukan perbuatan sama sekali bukan karena Allah. Contohnya orang amal kebaikan semata-mata karena rasa kemanusiaan. Amal semacam ini biasa dilakukan oleh kaum non-muslim. Meskipun tampak sebagai sebuah kebaikan, dalam kaca mata syara’ bukanlah kebaikan, dan kelak tidak ada balasan kebaikan dari Allah.
b. Amal bukan karena Allah yang bercampur dengan niat karena Allah. Contohnya; orang shalat, tetapi di balik shalatnya itu ingin dilihat oleh orang lain. Jika orang beramal sejak mula berniat ganda, seperti dalam contoh ini, maka Allah menolak amal yang diniatkan ganda itu. Tetapi jika awalnya ia ikhlas, lalu ditengah-tengah beramal munculah riya’, maka Allah menolak riya’nya itu. Dan jika kemudian, masih di tengah shalatnya ia sadar, bertaubat dan mengubah niatnya kepada niat yang ikhlas, amal tersebut tidak batal. Tetapi jika riya’ itu muncul di tengah shalat dan pelakunya tidak bertaubat, maka para ulama’ berbeda pendapat.
2- Penulis kitab ini meletakkan hadits tentang niat di awal kitab Thaharah, padahal tidak ada hubungan dengan thaharah, karena hadis ini memberikan rambu-rambu yang paling mendasar dalam setiap perbuatan manusia. Termasuk juga dalam thaharah. Thaharah akan bernilai jika dilandasi dengan niat ikhlas, yakni mengharap balasan dari Allah.

 diambil daripada: http://edukasi.kompasiana.com/2011/12/27/hadis-tentang-ikhlas-dalam-beramal/

Monday, December 31, 2012

Siapakah kita? who ? HU

"Sukakah saya beritakan kepadamu, orang yang terBAIK di antara mu?"

" Baiklah ya TUAN"

" Ialah mereka yang bila diLIHAT, langsung teringat kepada Allaah"

                      ............................................................................................

" Sukakah saya beritakan kepadamu, orang yang amat jahat dan berbahaya diantara mu?"

" Ialah mereka yang selalu berusaha memfitnah, yang suka merosak diantara kawan sahabat, yang selalu mencari kejelekan dan kesalahan orang"

(Ahmad)

................................................................................................................................................................

.................................................................................................................................................................

"Sukakah saya beritakan kepada mu orang ahli syurga?

" Ialah setiap orang lunak, lemah lembut, merendahkan diri bila sewaktu bersumpah dengan nama Allah pasti di perkenankan!"

                            ...................................................................................

"Sukakah aku beritakan kepadamu ahli NERAKA?"

" Ialah tiap orang yang rakus, kikir, keras, kejam dan sombong"

(Bukhari dan Muslim)

................................................................................................................................................................

" Sesiapa yang mati sedang pada waktu hidupnya suka mengunjing memaki orang, mengejek, menghina nama orang, maka tandanya dihari kiamat, kelak akan diberi belalai pada kedua bibirnya"

(ibn Abi Hatim)

Wednesday, November 7, 2012

Jaga DIRI - PerentahNYA

Janganlah orang yang beriman mengambil orang kafir menjadi teman rapat dengan meninggalkan orang yang beriman. Dan sesiapa yang melakukan (larangan) yang demikian maka tiadalah ia (mendapat perlindungan) dari Allah dalam sesuatu apapun, kecuali kamu hendak menjaga diri daripada sesuatu bahaya yang ditakuti dari pihak mereka (yang kafir itu). Dan Allah perintahkan supaya kamu beringat-ingat terhadap kekuasaan diriNya (PentadbiranNYA). Dan kepada Allah jualah tempat kembali.
(A-li'Imraan 3:28)


Wahai Rasul Allah! Janganlah engkau menanggung dukacita disebabkan orang yang segera menceburkan diri dalam kekufuran, iaitu dari orang yang berkata dengan mulutnya: "Kami tetap beriman", padahal hatinya tidak beriman; demikian juga dari orang-orang Yahudi, mereka orang yang sangat suka mendengar berita-berita dusta; mereka sangat suka mendengar perkataan golongan lain (pendita-pendita Yahudi) yang tidak pernah datang menemuimu; mereka ini mengubah serta meminda perkataan-perkataan (dalam Kitab Taurat) itu dari tempat-tempatnya yang sebenar. Mereka berkata: "Jika disampaikan kepada kamu hukum seperti ini maka terimalah dia, dan jika tidak disampaikannya kepada kamu, maka jagalah diri baik-baik".

Dan sesiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, maka engkau tidak berkuasa sama sekali (menolak) sesuatu apapun (yang datang) dari Allah untuknya. Mereka ialah orang yang Allah tidak mahu membersihkan hati mereka; bagi mereka kehinaan di dunia, dan di akhirat kelak mereka beroleh azab seksa yang besar.
(Al-Maaidah 5:41)


Wahai orang-orang yang beriman! Jagalah sahaja diri kamu (dari melakukan sesuatu yang dilarang oleh Allah). Orang-orang yang sesat tidak akan mendatangkan mudarat kepada kamu apabila kamu sendiri telah mendapat hidayah petunjuk (taat mengerjakan suruhan Allah dan meninggalkan laranganNya). Kepada Allah jualah tempat kembali kamu semuanya, kemudian Ia akan menerangkan kepada kamu (balasan) apa yang kamu telah lakukan.
(Al-Maaidah 5:105


"Sesungguhnya telah datang kepada kamu keterangan-keterangan (dalil-dalil dan bukti) dari Tuhan kamu; oleh itu sesiapa melihat (kebenaran itu serta menerimanya) maka faedahnya terpulang kepada dirinya sendiri, dan sesiapa buta (dan enggan menerimanya) maka bahayanya tertimpalah ke atas dirinya sendiri. Dan tiadalah aku berkewajipan menjaga dan mengawasi kamu".
(Al-An'aam 6:104)


Dan jagalah diri kamu daripada (berlakunya) dosa (yang membawa bala bencana) yang bukan sahaja akan menimpa orang-orang yang zalim di antara kamu secara khusus (tetapi akan menimpa kamu secara umum). Dan ketahuilah bahawa Allah Maha berat azab seksaNya.
(Al-Anfaal 8:25)

Kesimpulannya

Jagalah diri kita ya, agar tidak jatuh dalam maksiat dan mungkar
Agar tidak jatuh dalam zalim dan menzalimi

berjayalah orang yang mahu berfikir dan ingat serta menjaga dirinya