image

image

Monday, November 1, 2010

al ahibbatu

Suatu masa penduduk Mekah dan sekitarnya menghadapi musim kemarau yang panjang. Keadaan yang demikian membawa kesusahan kepada ramai.
Selama tiga hari berturut-turut mereka pun melaksanakan salat istisqa. Tujuannya untuk memohon rahmat Allah agar diturunkan hujan. Di tengah terpaan sinar matahari yang menyengat, mereka memanjatkan doa agar Allah menurunkan rahmat-Nya: air hujan.

Meski penduduk Mekah telah melaksanakan salat istisqa, hujan tak kunjung turun juga. Hal yang demikian itu membuat seorang sufi terkemuka, Abdullah bin Al-Mubarak, prehatin. Ia bertekad untuk membantu penduduk kota Mekah keluar dari kesulitan hidup yang mereka hadapi.
Karena itu, ia keluar dari rumahnya dan mengasingkan diri dari masyarakat ramai untuk berdoa sekiranya Allah berkenan menurunkan hujan.
“Semoga Allah berkenan merahmati dan mengabulkan doaku,” KATANYA LIRIH.

ia pun keluar dari rumahnya menuju tempat yang sepi. Dipilihnya sebuah gua sebagai tempat untuk bermunajat. Namun, belum lama ia masuk ke dalam gua, masuklah seorang pemuda yang bermuka hitam. Dari penampilannya, Abdullah bin Al-Mubarak menduga bahwa pemuda itu adalah seorang budak.

Setelah berada di dalam gua, pemuda itu mencari tempat yang agak lapang. Kemudian, pemuda itu melaksanakan salat dua rakaat. Selesai salat, ia bersujud seraya meletakkan kepalanya di atas tanah. Dengan khusyuk ia berdoa, “Ya Allah, sesungguhnya para hamba-Mu telah memohon hujan kepada-Mu dengan melaksanakan salat istisqa selama tiga hari, Engkau belum berkenan mengabulkan doa mereka. Oleh karenanya, demi kemenangan-Mu, kepalaku tidak akan aku angkat, sampai Engkau menurunkan hujan kepada kami.”

Mendengan doa yang dipanjatkan oleh pemuda itu dan tekadnya untuk tidak mengangkat kepalanya sampai Allah menurunkan hujan, Abdullah bin Al-Mubarak pun menjadi hairan.
“Siapakah gerangan pemuda ini?” Tanya sang sufi dalam hati penuh heran.
Belum pudar keheranannya, di luar gua udara yang semula panas menyengat tiba-tiba sirna oleh mendung berarak menyelimuti bumi. Tak seberapa lama kemudian, hujan turun dengan lebatnya membasahi bumi. Ini berarti doa pemuda itu dikabulkan oleh Allah.
Ketika butiran air hujan sudah membasahi bumi, pemuda itu mengakhiri sujudnya. Ia menengadahkan kepalanya di langit dan membasahi lidahnya dengan ucapan syukur kepada Allah yang telah mengabulkan doanya. Setelah itu, dia berdiri dan pergi meninggalkan gua.

Abdullah bin Al-Mubarak yang menyaksikan kejadian itu merasa kagum dengan keistimewaan yang dimiliki pemuda itu di sisi Allah. Karena itu, ia bermaksud mengikuti ke mana perginya sang pemuda. Ketika pemuda itu pergi meniggalkan gua, Abdullah bin Al-Mubarak membuntuti ke mana perginya sang pemuda.
Ternyata arah perjalanan pemuda itu menuju ke sebuah perkampungan yang cukup ramai. Sesampainya di suatu perkampungan, pemuda itu menuju ke sebuah rumah dan kemudian masuk ke dalamnya.

Abdullah bin Al-Mubarak yang sejak tadi mengikuti menghentikan langkahnya tepat di depan rumah yang dimasuki pemuda itu. Ia menunggu untuk beberapa saat lamanya sehingga ada seorang yang keluar dari dalam rumah.
Ketika itu, Ibnu Al-Mubarak bertanya, “Rumah siapa ini?” yang dijawab orang itu, “Rumah si Fulan.” Lalu, Abdullah bin Al-Mubarak bergegas masuk ke dalam rumah untuk mencari si pemilih rumah. Ketika sudah bertemu, Abdullah bin Al-Mubarak mengatakan, “Saya ingin membeli seorang budak.”

Kemudian pemilik rumah memperlihatkan semua budak yang dimilikinya kepada Ibnu Al-Mubarak. Ternyata yang diperlihatkan bukanlah budak yang ingin dibeli oleh Abdullah bin Al-Mubarak.
“Bukan yang ada ini! Saya menginginkan budak yang lain. Apakah Anda masih memiliki budak yang lain?”
“Ada! Tetapi saya kira tak pantas bagi Anda. Ia seorang budak yang malas.”
“Tak apalah. Aku ingin melihatnya.”

Kemudian pemilik budak itu pun memanggil budak yang dimaksud. Budak yang dianggap sebagai budak yang malas itu ternyata adalah pemuda yang melaksakan shalat dan bermunajat di dalam gua.

“Berapa harga budak ini?” tanya Abdullah bin Al-Mubarak.
“Saya membelinya dengan harga 20 dinar. Namun, harganya tidak sepadan dengan harga budak yang lain. Untuk itu, saya jual dengan harga 10 dinar saja.”

“Tidak, aku membelinya denga harga 20 dinar.”
Abdullah bin Al-Mubarak pin membayar dan membawa budak itu.
Saat itu budak tersebut berkata, “Ibnu Al-Mubarak, mengapa Anda berani membeliku, sedangkan aku tidak akan berbakti kepada Anda?”

“Siapa namamu?”

“Namaku, Al-Ahibbatu,” jawab sang budak.

Abdullah bin Al-Mubarak membawa pulang Al-Ahibbatu ke rumahnya. Sesampainya di rumah, Al-Ahibbatu mengatak hendak mengambil wudu. Abdullah bin Al-Mubarak kemudian menyiapkan tempat air wudu untuknya berikut sandal di depannya.
Al-Ahibbatu pun berwudu, melaksanakan salat, dan bersujud. Karena Abdullah bin Al-Mubarak ingin mendengar apa yang diucapkan dalam sujudnya, ia pun mendekati budaknya itu.
Samar-samar ia mendengar doanya, “Ya Allah, Zat yang memiliki rahsia, rahsia itu sungguh telah menjadi terang, padahal aku tidak menginginkan kehidupanku menjadi masyhur sesudah ini.

“Kemudian ia berhenti sesaat. Ia ternyata tak bergerak. Melihat itu, Ibnu Al-Mubarak mencoba membangunkannya, tapi ia ternyata telah meninggal dunia.
Ibnu Al-Mubarak lalu bergegas mengurus jenazah dan memakamkan sang budak.

Alkisah, pada suatu malam Abdullah bin Al-Mubarak bermimpi melihat Rasulullah saw, sedangkan di samping kananya ada seorang tua yang diliputi cahaya yang memesona, dan di sisi kirinya adalah pemuda yang bermuka hitam itu.

Kala itu Rasulullah bersabda, “Semoga Allah membalas kebaikan kepada kita semua. Sejauh ini, tiada bahaya yang mengancam dirimu berkat perlakuan baikmu pada kekasihku ini.”

Lalu, Ibnu Al-Mubarak pun bertanya, “Apakah pemuda bermuka hitam itu kekasihmu, ya Rasulullah?”
“Benar, ia kekasihku dan kekasih Allah,” jawab Nabi.

subhanallah wabihamdillah, wallahu akbar

subhanallah

No comments:

Post a Comment