Petunjuk Nabi saw. adalah sebaik petunjuk, seperti dikatakan oleh Umar ibnul Khaththab r.a., "Keduanya (Al-Qur'an dan sunnah) adalah kalam dan petunjuk, sebaik-baik kalam adalah kalam Allah SWT dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad saw.." Umar mengutip redaksi ini dari sabda Rasulullah saw. yang diucapkan oleh beliau dalam khotbahnya, "Amma ba'du. Sesungguhnya sebaik-baik pembicaraan adalah Kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah perbuatan bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat.
"Mengingkari Bid'ah dan Membenci Hal yang Baru, Apakah Sikap Islami ataukah Sikap Jahiliah?
"Siapa yang menciptakan hal baru dalam urusan (ajaran agama) kita, yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak." Artinya, dikembalikan kepada pelakunya, sebagaimana halnya uang palsu yang tidak diterima untuk dijadikan sebagai alat jual-beli, dan ia dikembalikan kepada pemiliknya. Hadits ini juga dinilai oleh para ulama sebagai salah satu pokok agama Islam. Ia adalah bagian dari Hadis 40 - Nawawi
Sewaktu Imam al-Fudhail bin Iyadh, seorang faqih yang zaahid 'orang yang zuhud' (para zaahid generasi pertama adalah para fuqaha), ditanya tentang firman Allah SWT, "... supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.... "(al-Mulk:2);
Amal ibadah apakah yang paling baik?
Ia menjawab, "Yaitu amal ibadah yang paling ikhlas dan paling benar."
Ia kembali ditanya, "Wahai Abu Ali (al-Fudhail bin Iyadh), apa yang dimaksud dengan amal ibadah yang paling ikhlas dan paling benar itu?"
Ia menjawab, "Suatu amal ibadah, meskipun dikerjakan dengan ikhlas, namun tidak benar maka amal itu tidak diterima oleh Allah SWT. Kemudian, meskipun amal ibadah itu benar, namun dikerjakan dengan tidak ikhlas, juga tidak diterima oleh Allah SWT. Amal ibadah baru diterima apabila dikerjakan dengan ikhlas dan dengan benar pula. Yang dimaksud dengan 'ikhlas' adalah dikerjakan semata untuk Allah SWT, dan yang dimaksud dengan 'benar' adalah dikerjakan sesuai dengan tuntunan Sunnah."
Contoh:
Saat Rasulullah saw. melihat seseorang makan dengan tangan kirinya, beliau bersabda kepadanya, "Makanlah dengan tangan kananmu." Orang itu menjawab, "Aku tidak bisa." Rasulullah saw. kembali bersabda, "Engkau pasti bisa."
Kemudian Rasulullah saw. menyumpahi orang itu sehingga ia tidak lagi dapat mengangkat tangan kanannya setelah itu.
Ini menunjukkan bahwa masalah ini (makan dengan tangan kanan) amat ditekankan.
Adalah Ibnu Umar r.a. karena kesungguhannya yang besar untuk mengikuti segala perbuatan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. dan kesempurnaan cintanya kepada beliau, ia mengikuti segala apa pun yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., meskipun hal itu tidak termasuk perbuatan ibadah atau bukan perbuatan yang diperintahkan untuk dikerjakan. Demikian juga sebagian sahabat yang lain.
Kalangan salaf
menjalankan agama pada batas ajaran yang jelas telah ada, dalam riwayat yang
pasti dari Rasulullah saw. dan pada sunnah-sunnah. Untuk kemudian, mereka
mencurahkan segenap potensi dan energi mereka untuk berkreasi dan bekerja untuk
memperbaiki kehidupan duniawi.
Dalam biografi Umar
Ibnul-Khaththab r.a., Anda akan menemukan banyak hal yang dikenal dengan
awwaliyyaat Umar 'pioniritas Umar'. Yaitu, ia adalah orang yang pertama kali
mengadakan sistem administrasi di negara Islam, yang pertama kali membangun
kota-kota terpadu, pemimpin yang pertama kali mengadakan investigasi langsung
kepada rakyat, dan lain-lain.
Dan, makna 'mengada-ada' adalah hal itu tidak mempunyai sumber dalam syariat. Asal kata bid'ah adalah diambil dari kata bad'a dan ibtada'a, yang bermakna 'menciptakan sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya'. Oleh karena itu, Al-Qur'an mendeskripsikan Allah SWT sebagai, "Allah Pencipta langit dan bumi." Artinya, Allah SWT menciptakan langit dan bumi dari nol, tanpa adanya contoh sebelumnya.
Membuat bid'ah adalah menciptakan ajaran agama yang tidak ada aturannya dari Rasulullah saw., juga dari Khulafa ar-Rasyidin, yang diperintahkan kepada kita agar mengikuti sunnah mereka.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa shalat malam pada bulan Ramadhan itu diperintahkan berdasarkan sabda Nabi saw. :
ReplyDeleteعن ابي هريرة رضي الله عنه ان رسول الله صلي الله عليه وسلم قال: من قام رمضان ايماناواحتسابا غفرله ماتقدم من ذنبه رواه البخاري
Barang siapa shalat pada malam Ramadhan karena iman dan semata-mata taat kepada Allah maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR. Bukhari)
Nabi saw. melakukan shalat itu di rumahnya, hanya saja beliau shalat itu di masjid berjamaah pada beberapa malam saja. Dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim :
عن عائشة رضى الله عنها, إن النبي صلي الله عليه وسلم صلى في المسجد فصلى بصلاته ناس, ثم صلى الثاينة فكثر الناس, ثم اجتمعوا من الليلة الثالثة أو الرابعة فلم يخرج إليهم رسول الله صلعم, فلما أصبح قال: رأيت الذي صنعتم فلم يمنعنى من الخروج إليكم إلا أنى خشيت أن تفترض عليكم وذلك في رمضان. رواه البخارى
Dari Aisyah rah. bahwa Nabi saw. pernah shalat di masjid lalu diikuti oleh orang banyak, kemudian shalat pada malam kedua lalu makin banyak para sahabat yang ikut shalat, kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat. Tetapi Nabi saw. tidak keluar kepada mereka. Setelah pagi hari beliau bersabda, “Saya tahu apa yang kalian perbuat, tapi yang mencegah aku keluar kepada kalian hanyalah karena aku khawatir akan menjadi kewajiban bagi kalian”. Hal itu terjadi pada bulan Ramadhan. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari uraian terdahulu kita tahu bahwa sunnah nabi dalam melaksanakan shalat Ramadhan ada dua macam:
a. Shalat di rumah sendirian, ini yang beliau biasakan
b. Shalat di masjid berjama’ah beberapa malam, hanya saja beliau meninggalkan yang akhir ini karena khawatir menjadi wajib bagi umatnya. Adapun bilangan rakaat shalat Nabi Muhammad saw. itu 11 rakaat dengan berdiri lama bacaan surahnya panjang atau 13 rakaat dengan dua rakaat ringan.
Sebagian Ahli fiqh mengatakan, “ Kemungkinan Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya menyempurnakan 20 rakaat di rumah masing-masing ”. Namun kemungkinan semacam ini jauh karena tidak disandarkan kepada dalil.
ANJURAN SAHABAT UMAR BIN KHATTAB RA.
Khalifah Umar bin Khattab ra. masuk ke masjid, lalu melihat para sahabat berpencar-pencar berkelompok. Ada yang shalat sendirian dan ada yang shalat menjadi imam dari kelompoknya. Lalu Sayyidina Umar ra. berkata, “ Menurut saya, seandainya mereka berkumpul dari satu pandangan tentu lebih baik ”. Lalu ia berhasrat untuk mengumpulkan mereka di bawah Imam Ubay bin Ka’ab.
Setelah dia melihat mereka pada malam lain melaksanakan shalat malam dalam berjama’ah, Umar berkata, “Sebaik-baik bid’ah adalah bid’ah seperti ini”. Maka dimana mereka tidur lebih baik daripada malam dimana mereka shalat, yakni akhir malam sedangkan orang-orang lain shalat di awalnya.” (HR. Bukhari)
Maksudnya, dinamakan bid’ah itu karena bentuk shalat, waktunya dan ketetapannya bahkan bilangannya tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. dan tidak diperintahkannya secara langsung, walaupun beliau pernah shalat malam berjama’ah beberapa malam.
Maka anjuran Umar bin Khattab ra. adalah perintah kepada publik/umat untuk shalat malam pada bulan Ramadhan di masjid secara berjama’ah pada awal malam. Ibnu at-Tin dan lainnya berkata, “ Umar menetapkan hukum itu, dari pengakuan Nabi saw. terhadap orang yang shalat bersama beliau pada malam-malam tersebut, walaupun beliau tidak senang hal itu bagi mereka, karena tidak senangnya itu lantaran khawatir menjadi kewajiban bagi mereka.
Tetapi setelah Nabi saw. wafat maka dinilai aman dari rasa khawatir tersebut dan hal itu menjadi pegangan bagi Umar, karena perbedaan dan menimbulkan perpecahan umat, dan karena persatuan akan lebih mempergiat banyak para umat yang menjalankan shalat.